Tag Archives: CERPEN

LAMARAN

Aku berjalan pada sebuah jalan besar, pada jalan ini yang jelas aku ketahui terdapat tiga kantor yang hari ini akan aku kunjungi. Satu diantaranya telah aku kunjungi kemarin dan dua lainnya aku ketahui dari iklan yang aku baca dikoran pagi ini. Keadaan ekonomi yang tidak menentu seperti sekarang ini membuatku pada posisi seperti ini. Selulusku dari kuliah empat tahun yang lalu setidaknya telah tiga perusahaan yang menjadi tempatku bergantung, walaupun sebagai free lance aku menikmatinya. Aku banyak mengenal karakter teman sekerjaku dan juga pengalaman bekerja pada perusahaan-perusahaan itu membuat hidupku penuh dengan warna. Namun kali ini aku jenuh juga harus terus mencari pekerjaan setiap waktu, rasanya kali ini aku ingin mendapatkan sebuah pekerjaan yang dapat memberiku masa depan, yah boleh dibilang pekerjaan yang lebih mapan.

Jalan yang kulewati ini ramai benar dan macet, jalan yang hanya dua arah sepertinya tidak mampu lagi menampung kendaraan yang berada diatasnya. Kantor dan toko yang berada dikanan dan dikiri jalan mungkin menjadi sebab jalan ini dipenuhi orang dengan berbagai keperluan. Benar juga keputusanku untuk naik bis, bayangkan saja kalau aku naik motor pasti akan sulit melalui jalan yang penuh sesak ini. Matahari belumlah bersinar terik, namun panasnya telah membuat keringatku mengalir. Sesekali aku berhenti mencari keberadaan kantor yang akan aku tuju. Hatiku menjadi bertanya-tanya seberapa panjang jalan ini, kenapa sudah jauh aku melangkah namun belum juga menemukan kantor itu.

“Permisi Pak, numpang tanya, kantor ini letaknya dimana ya Pak?” Sambil aku serahkan secarik kertas pada seorang tukang becak yang sedang duduk didalam becaknya. Ketika membaca tulisanku itu dahinya sedikit berkerut.

“Oh ini Dik, itu didepan sana, disamping toko Hijau.”Katanya.

Aku kemudian melihat kearah jari telunjuk tukang becak itu, “Yang mana ya Pak?” tanyaku ketika aku belum melihat tempat yang ditunjuk bapak itu.

“Itu toko Hijau yang mempunyai papan nama paling besar, dari sini saja sudah dapat terbaca. Nah kantor ini letaknya disampingnya.” Jelas bapak itu.

“Oh iya yang itu.” Jawabku setelah aku yakin benar melihatnya. “Terima kasih Pak.” Aku kemudian berlalu dari hadapannya.

Ketika telah dekat dengan kantor yang aku tuju, kuhentikan langkahku sebentar mencari tempat yang teduh, kuperiksa kembali berkas lamaran lembar demi lembar memastikan bahwa semuanya telah lengkap. Beberapa orang yang lalu lalang didepanku memperhatikan dengan berbagai ekspresi raut muka. Setelah aku rasa cukup, perjalanan kulanjutkan kembali. Sebuah halaman yang dipenuhi sepeda motor dan beberapa mobil terpakir didepan memperlihatkan bahwa sebuah bangunan yang tertutup kaca gelap itu adalah sebuah kantor. Pintu kaca hitam kudorong dan seorang wanita cantik berada dibalik pintu itu, ketika pintu terbuka ia melihat ke arahku.

“Selamat siang Mbak?” Sapaku menyusul.

“Siang, silahkan duduk Mas.” Perempuan itu menyambutku ramah. Nita Adelia demikian namanya yang terpasang pada papan kecil yang menempel didadanya.

“Ada keperluan apa Mas?” Tanyanya menyusul ketika aku sudah duduk di kursi di depan mejanya.

“Ini Mbak, mau memasukkan lamaran.” Sambil aku serahkan lamaran yang kubawa padanya. Setelah menerima lamaranku itu, ia bangkit dari tempat duduknya dan masuk kedalam kantor, hingga beberapa lama kemudian baru muncul kembali.

“Lamaran Mas kita terima, nanti kalau memenuhi syarat akan kita panggil.” Kata perempuan itu setelah duduk di kursinya kembali. Jawaban yang sudah sering aku terima. Aku putuskan untuk tidak berlama-lama disini dan perjalanan masih harus berlanjut.

* * *

Aku tidak dapat menghitung lagi berapa lama telah berada disini. Sejak menjadi karyawan hingga duduk pada posisiku sekarang ini telah memakan banyak energiku. Perasaan puas itu ada namun beberapa waktu yang lalu ketika aku pulang kerumah, jiwaku terusik oleh pertanyaan ibu yang sulit sekali aku menjawabnya, “Rini, kamu akan mengejar apalagi, sekolahmu sudah sampai perguruan tinggi bahkan gelar kesarjanaan sudah berada ditangan dan bahkan tempat kerjamu telah memberimu posisi seperti sekarang ini. Tapi ingat juga umurmu yang kian lama tidak bertambah namun justru berkurang, semakin lama semakin tua, apa kamu tidak memikirkan berumah tangga?”

Setumpuk pekerjaan yang berada diatas meja belum aku sentuh sedikitpun bahkan beberapa map surat lamaran yang harus aku seleksi siang ini belum aku lihat. Ah biar Erwin yang menyeleksi secara tertulis diakan sudah terbiasa dengan hal ini dan aku tinggal mewawancarai, lamaran ini akan aku buka sambil wawancara nanti siang saja. Jam dinding yang menempel diruanganku menarik perhatian dan sepertinya dia memperingatkan bahwa siang ini aku ada janji dengan teman-teman. Sekelompok pengacau demikian aku menyebutnya, sudah berapa lama aku berteman dengan mereka yang jelas aku ingat kami bertemu ketika masih berada dibangku kuliah, mereka semua adalah teman satu pondokan dan kini ketika waktu menggilas semua kenangan, mereka telah berada pada tempat yang aku sendiri belum pernah merasakan seperti yang mereka rasakan. Saat ke luar ruangan Erwin masih duduk dibelakang mejanya mengaduk-aduk setumpuk kertas.

“Pak Erwin nanti tolong calon pekerja baru diseleksi, soalnya seperti yang sudah-sudah saja. Saya mungkin kembali ke kantor agak terlambat jadi tidak perlu menanti saya, kalau ada apa-apa telpon saya.”

“Iya Bu.” Jawabnya dengan rasa hormat, dan menyanggupi melaksanakan perintahku.

Seperti biasanya Pak Man sopir perusahaan yang ditugasi mengantarku kemana saja aku pergi telah berada di depan kantor dan saat melihatku keluar dia menyapa dengan ramah.

“Ibu akan diantar kemana?” Tanya Pak Man.

“Pak Man, tolong saya diantar ke warung Pojok!”

Begitu mendengar perintahku, sopir perusahaan yang rambutnya sudah mulai memutih itu melarikan mobil yang aku naiki. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk cepat sampai ke warung itu. Warung pojok yang memberi bekas masa lalu yang hingga sampai sekarang masih aku pertahankan. Sekali dalam seminggu aku bertemu dengan sahabat-sahabat lamaku. Bagi mereka mungkin menyisihkan waktu sekali seminggu tidak masalah apalagi pada jam istirahat siang, namun kadang aku sendiri yang mengecewakan mereka semua dengan jarang bisa berada bersama mereka.

Mereka telah berada dalam warung itu ketika aku tiba disana, ini terlihat dari dalam mobilku. Mereka tidak melihat kedatanganku hingga aku duduk disamping mereka.

“Wah ibu manager kita, ternyata hari ini beliau bisa hadir disini dan masih ingat dengan kita.” Sindir Retno yang dulu memang suka menjahiliku.

“Gimana kerjaanmu Wik?” Tanya Ria menyusul.

“Yah seperti biasa masih banyak dan tetap menumpuk.” Jawabku.

“Yang jelas tidak seperti kita, tinggal nunggu perintah. Dia mikir apa yang akan diperintahkan, itu bedanya dengan kita.” Sahut Retno kemudian.

“Sudahlah bisa kita tinggalkan semua itu dan ganti pembicaraan.” Pintaku pada mereka.

“Ngomong-ngomong kita tadi membicarakan kamu lo Wik. Kenapa kami yang sudah beranak ini tidak cepat kamu susul, apa kamu tidak memikirkan soal jodohmu Wik?” Atik mengganti topik pembicaraan yang tetap saja memojokkanku.

“Tenang saja teman-teman, Wiwik sekarang ini sedang mencari cinta sejatinya.” Ria membelaku.

“Memang ada cinta sejati itu?” Tanyaku kemudian.

“Ya jelas ada to Wik. Kalau kamu merasakannya, getaran-getaran aneh itu akan membuatmu mabuk dan hatimu penuh dengan bunga-bunga.” Jawab Ria kemudian.

Menit demi menit berlalu begitu saja tanpa terasa. Canda tawa mengembalikan masa lalu saat kami masih sering bersama dengan kehangatan, untuk sementara waktu semua kepenatan hilang sejenak. Ketika tersadar sudah satu setengah jam kami duduk ditempat itu.

“Teman-teman sepertinya sudah waktunya kita kembali bekerja lagi. Wik, boleh tidak aku nebeng mobilmu, soalnya waktu kesini tadi aku ikut temanku.” Pinta Retno.

“Ya, boleh. Aku akan antar kamu sampai tempatmu.” Jawabku mengijinkan.

Sepertinya aku akan mempunyai teman bicara, jadi tidak jenuh menempuh perjalanan pulang ke kantor. Beberapa saat kemudian Retno dan aku telah berada dalam mobil dan meninggalkan kedua sahabat yang tadi bercanda penuh tawa.

“Eh, Ret, apakah masih ada cinta sejati buat wanita seusiaku?” Tanyaku pada Retno ketika mobil yang dikendarai Pak Man bergerak membelah jalan yang penuh sesak.

“Ternyata kamu tertarik juga, kenapa tadi kamu tidak menanyakan pada teman-teman, malu ya?” Goda Retno padaku yang kontan saja aku cubit dia.

“Ah kamu ini, orang ditanya malah meledek.” Kataku sambil sedikit memalingkan muka melihat keluar cendela.

“Begitu saja marah. Asal kamu tahu saja, cinta itu tidak mengenal usia dan bahkan status sosial.” Kata Retno mencoba menenangkanku.

“Ah aku tidak percaya dengan itu.” Sanggahku pada Retno.

“Hati-hati dengan perkataanmu itu, bisa menjadi bumerang bagi kamu.” Ancam Retno padaku.

* * *

Saat memasuki kantor, diruang tamu telah duduk enam orang yang wajahnya tidak aku kenal, aku rasa mereka adalah calon karyawan baru. Ketika melihatnya salah satu wajah menarik perhatianku.

“Pak Erwin sudah selesai?” Tanyaku padanya ketika kujumpai dia duduk dibelakang dimejanya.

“Tinggal wawancara Bu.” Jawabnya.

“Baik kamu siapkan, aku tunggu diruanganku.” Perintahku.

“Iya Bu.”

Sebelum memasuki ruanganku, Susi sekretarisku memberitahuku ada surat-surat yang harus aku tanda tangani.

“Sus, sekalian kamu siapkan rapat staf besok pagi.” Perintahku padanya.

Saat sedang mengerjakan pekerjaan yang ada diatas meja, Erwin masuk memberitahukan bahwa wawancara sudah siap dilakukan, katanya tiga orang yang memenuhi syarat untuk ikut wawancara. Maka aku suruh dia menyiapkannya. Satu per satu calon pegawai itu masuk dan akhirnya sampai pada pelamar terakhir, Bagas Prakoso namanya. Wajahnya sangat menarik perhatianku, apalagi tatapan matanya begitu menghunjam hingga membuat aku sendiri mempunyai perasaan aneh yang sudah lama hilang dari hatiku. Sialan kamu Retno, umpatku dalam hati. Sepertinya pegawai baru itu telah aku temukan.