Author Archives: YUSUF ARIFIN

TUNAS HARAPAN

Pagi ini sinarnya menelusup ke relung-relung jasad nabati,

bayangannya jelas hitam tanpa pola jatuh ke tanah.

Pagi ini aku duduk pada sebuah ruang sambil memandangnya,

jauh ku pandang hingga tiada tersadar.

Berjajar, berderet mata tertunduk ke bawah,

sesekali ia melongokkan matanya kedepan melihatku, tajam tatapnya,

ketika beradu tertunduk dengan rasa malu.

Pagi ini ini tunas-tunas ini meretas harapan,

hari esok cerah semoga,

Pagi ini ia cermati nomor demi nomor pada secarik kertas,

hati-hati dituliskannya pada halaman kosong,

hiasan seperti gambar yang dibayangkannya dipikiran

jujur dan bersahaja.

Mentari beranjak naik sejengkal, menerobos hingga di kulit ari,

merambat hanggat mengalir terbawa aliran darah.

Ssssssst, dari pojok terdengar lirih,

memanggil sahabat diujung sana,

jari-jari tangan bermain membentuk irama isyarat,

terhenti ketika kutatapnya tajam,

terhenyak, ada penyesalan terlihat.

Hai, tunas-tunas negeri,

bangsa ini hanya butuh kejujuran dan kejernihan hati,

bangsa ini tidak butuh pencuri dan pengecut

Gombong, 201010

KARAKTER SEBUAH PROSES DIALOGIS

Dunia ini panggung sandiwara, demikian sepenggel sebuah lagu yang judulnya saya sendiri tidak begitu tahu, namun maknanya dalam. Sebagai panggung maka di dunia ini ada banyak karakter manusia, kalau dalam budaya Cina ada keseimbangan yin dan yang, didunia barat ada bad dan good sedangkan tata nilai di dalam budaya kita pun mengenal adanya baik dan buruk. Keduanya sangat relatif penilaiannya, dalam sebuah kelompok atau komunitas tertentu. Sebagai contoh dalam sebuah kelompok kyai diantara mereka ada sebuah penilaian baik terhadap anggota kelompoknya bahkan tak luput pula ada cap jelek pada salah satu anggotanya yang mungkin mempunyai pandangan yang berbeda dari mereka, namun kebanyakan masyarakat melihat bahwa sosok kyai punya sisi yang positif dan menjadi panutan. Sebaliknya pada sebuah kelompok penjahat ada yang memandang baik pada anggotanya yang mempunyai rasa humanis yang berbeda derajatnya dari seluruh anggota kelompoknya sehingga dapat disebut baik dalam kelompoknya namun tetap saja konotasi kebanyakan orang memandang buruk pada penjahat.

Ini semua menggambarkan bahwa baik dan buruk adalah sebuah penilaian sedangkan penilaian sendiri mempunyai nilai yang relatif dan sangat dipengaruhi dari sudut mana memandangnya. Tidak akan dapat dibuat sebuah penyeragaman ketika melakukan penilaian, karena masing-masing individu mempunyai kriteria sendiri-sendiri dalam melakukan sebuah penghakiman pada sesuatu, bukankah manusia mempuyai peran subyek yang sangat subyektif. Secara umum mungkin akan sangat bernilai humanis ketika telah memenuhi rasa kemanusiaan yang diyakini kebenarannya secara umum, jadi kyai adalah sosok baik dan penjahat adalah sosok yang punya konotasi negatif, terlepas bagaimana anggota masing-masing kelompok tersebut bersikap terhadap kelompoknya.

Budaya yang mempunyai seluruh aspek kehidupan mempunyai bagian dimana unsur ini adalah rasa yang mempunyai fungsi untuk melihat sesuatu itu memiliki nilai. Nilai inilah yang nanti akan membuat sebuah kristalisasi pemahaman terhadap sesuatu yang akan dapat menjadikan kesamaan dalam melihat sesuatu. Sayangnya manusia adalah roh yang membadan, ia punya cipta, rasa dan karsa, sehingga perlu pemahaman yang lebih agar seorang manusia dapat diterima dalam kelompoknya.

Karakter sebagai cermin adaya ketiga unsur, yaitu karsa, rasa dan cipta itu bukan dalam waktu singkat dibentuk. Membutuhkan waktu yang panjang guna membentuk sebuah karakter, sedangkan karakter ini tergantung pada perjalanan hidup manusia itu sendiri yang kemudian akan terkristal dalam dirinya sehingga pengaktualisasiannya pada sikap dan perbuatan. Masing-masing orang mempunyai proses perjalanan pembentukan karakternya sendiri. Masyarakat sebagai sisi sosial merupakan sumber komunikasi tata nilai antara seorang individu dengan orang lain. Ada pengaruh sosial dalam membentuk sebuah karakter individu. Tanah tempat jatuhnya sebuah biji tentu akan mempengaruhi bagaimana tanaman itu akan tumbuh. Demikian pula sosok individu akan terpengaruhi oleh masyarakat tempat mereka tumbuh.

Masa yang paling kritis adalah ketika manusia itu tumbuh pada waktu remaja, pada masa-masa inilah pembentukan individu dimulai karena adanya masa transisi antara masa anak-anak menuju dewasa. Ada sebagian yang membawa trauma psikologis pada masa anak-anak sehingga ketika mencari jati dirinya harus tumbuh dengan sebuah luka yang terkadang luka itu membawa sebuah trauma yang dalam sehingga ketika melewati masa-masa ini ada rasa dendam dengan konotasi yang negatif sehingga memunculkan pola-pola perkembangan individu yang abnormal, dimana abnormal disini mempunyai sebuah pengertian yang berbeda dengan kebanyakan.

Pada sisi lain dengan bekal trauma pada masa lalu itu ada sebagian individu yang lain mampu melakukan sebuah evaluasi dan menumbuhkan karakter baru dengan pensikapan yang berbeda sehingga dapat dengan benar mengaktualisasikan dirinya. Pada taraf perkembangannya terpelihara nilai-nilai positif yang berbeda dengan kondisi yang menimpanya, namun yang mampu seperti ini tidaklah banyak. Bukankah sebuah biji tidak akan jatuh jauh dari pohon induknya?

Pada akhirnya ada sisi yang dapat kita petik sebuah hubungan antara proses pembentukan karakter individu dengan peran masyarakat. Masyarakat dengan sebuah lingkungan yang apatis dan cuek tentu akan menghasilkan sosok individu yangberbeda dengan sosok individu yang terbentuk oleh masyarakat yang lebih ramah dan sangat menjunjung tinggi kebersamaan dengan rasa persaudaraan yang tinggi. Bahwa sebuah seorang individu yang imanen maka menjadi sebuah perbedaan dalam menuju kedewasaannya dan faktor-faktor yang bergejolak dalam masyarakat mampu dikelola sehingga membuat pembentukan karakter yang berbeda.

MEJENG NARSIS DI WEB BLOG

Kemajuan teknologi sekarang ini sangat sukar untuk dibendung, setiap hari mungkin puluhan bahkan ratusan produk baru yang menampilkan teknologi baru bermunculan. Kesemuanya itu bertujuan sama yaitu untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupan pada masa sekarang yang semakin rumit dan komplek. Informasi dan teknologi sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat modern yang menumpukan segala aspek pada teknologi dan informasi.

Teknologi informasi sebagai salah satu media informasi guna menentukan sebuah keputusan sudah berkembang demikian dinamis. Ruang yang tidak lagi menjadi pembatas tentu sangat membutuhkan dukungan teknologi yang semakin cepat aksesnya dan tentunya beragam kontennya, ini dikarenakan setiap orang mempunyai ketertarikan yang berbeda.

Web blog sebagai sebuah bagian dari perkembangan teknologi informasi menyajikan kedinamisan informasi dibandingkan dengan web site yang cenderung statis. Baik dari sisi tampilan dan konten, web blog lebih dinamis. Informasi yang disajikanpun beragam dan sangat dinamis karena pengelola web blog dapat dilakukan oleh seorang individu. Ia sebagai pribadi, sehingga topik-topik yang ada didalamnya berbeda antara satu dengan yang lain.

Tujuan penciptaan web blog pun berbeda antara satu dengan yang lain, namun mempunyai sebuah benang merah yang sama diantara web blog yang ada yaitu aktualisasi. Apa yang akan diiaktualisasi itu yang sangat individual, yang jelas masing-masing menyajikan informasi. Apapun isi dan bagaimana bentuknya menjadi sebuah perwakilan apa yang berkembang di dalam sebuah komunitas masyarakat, yang kalau kita cermati menumbuhkan pemahaman kita bahwa kita tidak hidup sendiri dan tentu saja manusia lain juga punya hasrat yang berbeda.

Seperti layaknya kehidupan itu sendiri bahwa individu manusia ada yang baik dan tentu saja ada juga yang tidak baik. Rasanya kedua hal ini bagaikan sebuah keping mata uang koin dengan dua sisi yang berbeda yang tidak dapat dipisahkan selama kehidupan itu sendiri ada. Filter terhadap informasi yang ada terletak pada pribadi manusia itu sendiri dengan berbekal tata nilai yang dia pegang.

Bahkan sebuah control sosial dapat dilakukan menggunakan web blog guna menciptakan sebuah pemerintahan yang bersih. Informasi yang dapat diakses oleh masyarakat banyak merupakan sebuah media penyeimbang sekaligus pengawas bagi pemerintah disisi penjalan kebijakan yang mengatur kehidupan bernegara. Akuntabilitas tentu saja terjaga.

Ketika sebuah informasi diposting ke web blog, maka proses pengaktualisasian terjadi, yang lebih ekstrim dapat disebut sebagai proses mejeng, Mejeng didalam web blog mempunyai tujuan yang berbeda-beda ada yang hanya iseng, ada yang ingin mengungkapkan semua pemikirannya, ada yang ingin menjadi popular, ada yang tulus untuk berbagi, dan masih banyak lagi. Apakah pengaktualan diri dalam sebuah web blog ini narsis? Jawabannya adalah kita sendiri yang tahu.

POSTING AKSARA JAWA SEBUAH UPAYA PELESTARIAN KEKAYAAN BUDAYA

Kita ketahui bahwa kebudayaan merupakan hasil peradaban manusia. Hal ini seperti yang tercermin dalam pengertiang etimologis budaya itu sendiri yang asal kata budaya ini berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang bermakna budi dan akal. Jadi budaya mempunyai makna sebagai semua hal yang bertalian dengan budi dan akal manusia. Sehingga sebuah peradapan manusia dapat dilihat dari hasil budaya manusia itu sendiri yang meliputi seluruh aspek kehidupan.

Bahasa sebagai salah satu unsure kebudayaan mempunyai posisi sebagai alat komunikasi antara manusia dalam sebuah komunitas. Sehingga interaksi diantara manusia itu akan membuahkan sebuah pengertian. Komunikasi tidak hanya identik dengan bahasa yang berbentuk vocal saja namun jauh lebih dari pada itu, pada manusia modern alat komunikasi yang semakin maju menumbuhkan beragam bahasa dalam penyampaian pendapat, dapat berwujud gambar suara, bahkan gerakan sebagai isyarat dapat digunakan sebagai alat komunikasi.

Hasil yang dapat dirunut untuk menelusuri peradaban manusia adalah bukti-bukti dokumen tertulis yang ditinggalkan manusia pada masa lalu. Tulisan dapat sedikit menggambarkan kondisi social manusia pada saat dokumen itu di dokumentasi. Masyarakat Jawa sebagai salah satu bagian dari peradaban dunia telah mencapai peradaban yang tinggi pada masa lalu, Borobudur yang diakui sebagai salah satu keajaiban dunia menjadi buktinya.

Bukan itu saja, masyarakat jawa telah pula mengenal dokuntasi dalam bentuk tertulis, baik itu yang berupa peninggalan prasasti dalam batu dan banyak tulisan yang menggunakan banyak media. Teks yang dimiliki ini merupakan sebuah warisan dari para leluhur yang tentunya wajib dijaga dan terus dipelajari agar dapat tetap bertahan hidup didalam masyarakat. Namun menjadi keprihatinan kita semua bahwa teks-teks yang merupakan tinggalan yang tidak ternilai itu kebanyakan tersimpan dinegara orang yang dahulu pernah menjajah kita.

Huruf jawa sebagai warisan budaya ini pada saat ini telah terdaftar menjadi Unicode. Dengan terdaftarnya aksara ini dalam Unicode dengan nomor regestrasi A980 – A9DF maka para pengguna komputer katanya dapat langsung menggunakan aksara ini, namun patut disayangkan pula karena ang mendaftarkan aksara Jawa ini ke Unicode adalah orang luar. Apapun itu tidak mengurungkan niat kita untuk tetap menjaga warisan leluhur kita sehingga tidak hilang dan ditelan peradaban jaman.

Beberapa waktu yang lalu saya mencoba untuk melakukan posting menggunakan font hanacaraka, hasilnya lumayan tidak mengecewakan walaupun harus dengan susah payah melakukan edit kode HTML-nya. Namun ketika melihat hasilnya ternyata sebuah aksara yaitu pangkon tidak muncul seperti yang diharapkan. Mungkin dengan posting ini ada yang bisa membantu kesulitan itu. Terima kasih.

Contoh hasil posting :

?bpkNe[mBsirm’,

PENILAIAN

MANUSIA SEBAGAI SEBUAH KESATUAN YANG HOLISTIK

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dimana ia harus mendudukkan posisinya ini. Secara vertikal jelas ia akan mempertangguangjawabkan seluruh perbuatannya pada Sang Penciptanya di hari perhitungan nanti, secara horisontal manusia harus mampu menyeleralaskan dirinya dengan semesta. Bagaimana halya itu semua dapat terjadi, tentu saja bukan hal yang dapat dengan mudah dilakukan begitu saja, namun perlu proses. Bukankan menuju kearah dewasa itu seorang anak harus mau belajar tentang kehidupan itu sendiri.

Manusia, menyebutkan kata ini maka tidaklah akan tuntas membahas pribadi manusia itu sendiri. Tiga ranah (cipta, rasa, dan karsa) merupakan misteri tersendiri. Individu yang imanen tentu mempunyai hasrat yang selalu bergejolak dan hanya sosok pribadinyalah yang mampu mengontrol. Lingkungan mungkin akan mempengaruhi namun dominasi pribadi merupakan filter penentu untuk dirinya sendiri. Proses merupakan langkah pencarian jati diri seorang manusia. Manusia merupakan roh yang membadan, sukar rasanya untuk dapat mengetahui pribadi seorang manusia. Kita setuju bahwa saya dan Anda berbeda, imlempetasi dari rasa, cipta serta karsa kita berbeda. Penilaian antara anda dan saya terhadap sebuah objek akan berbeda, tak heran jika ada ungkapan “dalamnya laut dapat diukur namun dalamnya hati siapa sangka”.

Melakukan penilaian bukanlah pekerjaan gampang, perlu menimbang, mengingat baru kemudian memutuskan. Memberikan atribut pada seseorang apalagi sifatnya yang kuantitatif berarti memberi angka-angka. Padahal manusia dinilai jauh lebih obyektif jika kualitatif sifatnya. Kadangkala pemberian atribut ini menjebak saat menentukan penilaian, pemberian angka 8 misalnya, belum tentu merepresentasikan sosok manusia sebagai mana dimaksud, kadang hal ini hanya dapat mewakili salah satu sisi saja, pada sisi lain dari sudut pandang yang berbeda akan nampak lain hasilnya. Nampak jelas belum tentu seperti itulah kelihatannya namun yang datangnya jauh dari dalam kadang terabaikan. Penialaian jauh mendorong kita untuk mematrialkan seorang individu dari pada pemberian penghargaan.

KESETIAAN

Jeruji roda yang berkarat telah berputar entah berapa kali. Jalan yang ditempuh tiada terhitung lagi kilometernya. Ah siapa yang mau menghitung perputaran roda kehidupan yang terus berputar pada lintasan yang lurus. Biarlah ia menemukan takdirnya sendiri. Topi yang butut disana sini penuh lobang memperlihatkan rambutnya yang memutih, ia telah menjadi teman yang paling setia baik dalam hujan maupun panas, ia bersaksi bahwa jalan ini telah dilaluinya ribuan kali. Kakinya yang sedikit pincang tidak pernah mengurungkan niatnya untuk terus berjalan dan mendorong gerobak yang telah berkarat disana sini. Ketika badan terasa lelah, dia sandarkan tubuhnya yang semakin rapuh pada dinding yang putih penuh coretan tanpa makna. Dikeluarkannya tembakau kesayangannya kemudian menyalakannya. Asap putih mengepul memenuhi ruang udara disekelilingnya. Keriput diwajah memperlihatkan garis kehidupan yang telah dia lalui.

“Ting ting ting ting ting.”

Mangkuk yang setiap hari dia pukul dengan sendok tidak pecah sekeras apapun dia pukul. Dia berharap bunyi khas seperti ini mengundang setiap orang menyapanya. Kunci keberhasilannya terletak pada senyum ramah dan rasa hormat pada setiap orang yang menyapanya. Semakin banyak orang yang menyapanya maka sebanyak itulah darah kehidupan akan terus mengalir melalui nadinya. Dia sadar benar bahwa apa yang dicarinya tidak dinikmati sendiri. Dia Harus membagi pada orang-orang yang dicintainya untuk kekasih sejati dan buah hati.

“Mas, hidup ini bukan untuk disesali tapi harus dijalani. Kebahagiaan tergantung pada bagaimana kita menikmatinya.” Begitu pernah aku dengar dari mulutnya dalam sebuah percakapan dengannya ketika itu. Setelah beberapa lama aku renungkan benar juga kata penjual bakso itu, hidup itu harus dijalani dengan usaha dan do’a ditambah kepasrahan penuh syukur.

Sore ini jam dinding di kamarku menunjukkan angka delapan, seharusnya dia telah berada di depan rumahku seperti kebiasaannya selalu tepat. Karena aku pelanggan setianya, dia hafal betul dalam sebulan berapa hari aku beli baksonya bahkan perasaannya dapat merasakan bila aku merindukannya entah siapa yang mengaturnya. Hingga beberapa hari kemudian kejadian ini terulang lagi. Aku tahu betul setiap tanggal-tanggal diakhir bulan dan di awal bulan dia selalu berjualan di kampungku.

Ting… ting… ting… ting…

Bunyi denting mangkuk yang kurindukan sayup-sayup terdengar mendekat lama-kelamaan sampai juga di depan rumahku. Nampak tubuhnya yang mulai rapuh dimakan usia tetap tegak berdiri di samping gerobaknya sambil terus memukul mangkuknya masih dengan irama denting yang sama dan teratur.

“Pak, bagaimana kabarnya, sudah beberapa hari ini saya tunggu bapak kok tidak muncul-muncul?” Sapaku membuka percakapan sambil ku serahkan mangkuk yang ku pegang.

“Saya pulang ke kampung, maklum sudah lama tidak menengok keluarga di sana.”

“O, begitu.”

“Seperti biasa mas?”

“Yah, seperti biasa.”

Hafal betul dia dengan kesukaanku, kombinasi bakso, bakmi dan kuah yang menjadi porsiku dia sajikan pas setiap kali aku beli baksonya. Pelayanan yang penuh kekeluargaan rasa-rasanya telah membuat dia dapat mempertahankan langganannya.

“Keluarga di kampung baik-baik saja kan pak?”

“Yah, begitulah mas.”

“Kalau boleh tahu, dimana kampung bapak?”

“Jauh mas, di Wonogiri sana. Saya saja kalau pulang tiga bulan sekali. Itu yang rutin mas. Belum lagi kalau saya mendapat kabar penting dari kampung, bisa saja belum sampai tiga bulan saya sudah pulang.”

“Kalau yang kemarin itu termasuk yang mana pak, yang rutin atau yang tidak rutin?” Tanyaku menggodanya sambil menyelidik. Tanpa menghentikan kesibukannya meracik pesanan saya, wajahnya yang tertunduk dalam mencari jawaban yang tepat atas pertanyaanku tadi yang dirasanya sudah terlalu jauh mengganggunya namun dia tak kuasa untuk mengecewakan pelanggannya.

“Kalau tidak berkenan bagi bapak, ya tidak usah dijawab saja. Maaf kalau pertanyaan saya tadi mengganggu bapak.”

“Ah tidak kok mas. Kemarin saya pulang karena ada kabar penting dari rumah, sehingga saya putuskan untuk kembali dahulu ke kampung untuk menenggok keluarga.”

Jawaban tadi menghentikanku untuk bertanya lebih mendalam, aku sadar bila terus aku lanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lain pasti akan sangat mengganggu kegundahan hatinya pada sesuatu hal yang dirasanya tidak enak diungkapkan pada langganannya.

“Ini mas pesanannya sudah selesai?”

“Berapa pak semuanya?” Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu aku tanyakan lagi karena aku tahu berapa harga semangkuk bakso ini.

“Seperti biasa mas.”

“Yah, ini uangnya, terima kasih pak.”

“Sama-sama mas.”

Setelah aku masuk, ia meneruskan mendorong gerobak bakso sambil memukul mangkuk kosong yang nyaring terdengar. Bunyinya berangsur-angsur mengecil. Hingga aku selesai makan bakso, mangkuk yang dia pukul tak kunjung berhenti, masih dengan irama yang tetap teratur. Sepertinya tetangga di kampungku tidak ada yang berminat membeli baksonya. Maklumlah rumah tetanggaku hanya terletak di tepi jalan yang melingkar saja dan beruntung rumahku terletak di tepi jalan yang menghubungkan kampungku dengan jalan raya. Orang yang keluar masuk ke kampungku harus melewati jalan didepan rumahku. Karena penasaran pada bunyi mangkuk penjual bakso itu aku naik ke lantai atas dan kunyalakan sebatang rokok sambil terus mendengarkan bunyi mangkuk yang dipukul dengan sendok yang iramanya dari tadi belum berhenti. Semakin keras ketika mendekati rumahku dan akhirnya tepat didepan rumahku dia mengucapkan salam perpisahan dengan suaranya yang khas, ting… ting… ting… ting…

Kasihan penjual bakso itu, barang dagangannya yang masih menumpuk belum juga habis, entah berepa jauh lagi dia harus berjalan untuk menghabiskan barang dagangannya, gumamku dalam hati sambil ku nikmati sebatang rokok yang terselip diantara jari telunjuk dan jari tenggah tanganku.

Waktu yang tetap dalam hitungan detik bergerak teratur dalam sebuah lingkaran berbingkai menit, merayap jarum pendeknya menunjuk angka-angka yang berjumlah dua belas angka. Teratur, tetap dan tepat pergerakan waktu dalam sehari, kini tepat dua puluh empat jam persis semenjak Pak Tua demikian sebutanku pada penjual bakso itu. Nama ini yang hanya dikenal oleh seluruh keluargaku saja. Tanpa memakai jam tangan dia dapat tepat sampai di rumahku pukul 8 malam, walau aku tak berminat makan bakso aku masih penasaran pada kehidupan orang ini yang menjalaninya dengan penuh senyum ramah, maka aku putuskan untuk membeli bakso walau semangkuk saja. Ketika dilihatnya aku membuka pintu ruang tamu dilemparkannya senyum yang ramahpadaku.

“Jangan buru-buru mas, masih saya tunggu!”

Lentera yang tepat berada di depan gerobaknya menyinari barang daganyannya yang berada di sebuah kotak kaca, kosong dan tinggal beberapa gelinding bakso saja, kelihatannya hanya cukup untuk satu mangkuk bakso. Hari ini adalah hari keberuntungannya, belum terlalu larut, barang dagangannya telah habis terjual sehingga dapat menghantarkannya pada mimpi indah dan terbangun dengan senyum untuk menatap hari esok yang mungkin tidak dia ketahui apa yang akan terjadi nanti, dan aku pembeli yang terakhir.

“Wah laris pak baksonya, jam segini sudah habis.”

“Syukurlah mas, hari ini memang menjadi hari yang membahagiakan saya, andaikan setiap hari seperti ini, maka saya tidak akan berjualan seperti ini terus mas.”

“Yang penting bapak kali ini dapat pulang sore dan tidur lebih awal.”

Kali ini aku pesan bakso memakai mangkuk yang selalu dia pukul untuk mengundang pembeli. Aku bisa mengajaknya berbincang-bincang lama. Kesempatan seperti ini jarang terjadi, aku tahu diri kalau dagangannya masih banyak aku segan menggunakan mangkuknya, karena semakin dia aku tahan lama maka dagangannya yang banyak itu akan habis lebih larut dan bahkan bila terlalu larutpun dia akan membawa barang dagangannya pulang, kasihan juga penjual bakso itu.

“Saya pesan bakso satu porsi seperti biasa, kali ini memakai mangkuk bapak saja.”

“Boleh mas.”

Dengan serius dan teliti dia meramu bumbu, bakso dan bakmi agar terasa nikmat dan memuaskan pelanggannya. Ada perasaan bahagia dan senang terpancar diwajahnya jika setiap pembeli yang dilayaninya tersenyum puas. Diambilnya satu per satu bakso yang mengambang di atas kuah yang terus mengepulkan aroma yang membangkitkan nafsu makan.

“Lho pak saya pesan satu porsi saja, kenapa baksonya diberi lebih?”

“Tidak apa-apa mas, tinggal ini saja, dari pada nanti saya buang lebih baik yang tersisa ini saya berikan pada mas, dan lagi saya sudah banyak untung hari ini.”

“Saya mau saja, tapi bayarnya tetap satu kan pak?”

“Beres, ini saos, kecap dan sambalnya silahkan ambil sendiri.”

Kububuhkan sedikit saos kemudian ku campur dengan kecap dan kuhiasi dengan sepucuk sendok sambal, bakso dalam mangkuk inipun aku rasa sempurna rasanya. Aku tengok ke kiri dan ke kanan kucari tempat duduk untuk menikmati semangkuk baksoku. Tepat dibawah pohon nangka aku lihat ada sebongkah batu kali yang besar tergeletak di tepi jalan. Batu sisa untuk membuat pondasi rumah tetanggaku yang sebulan lalu baru selesai membangun rumahnya. Tempat yang cocok untuk menikmati bakso ini. Kuhabiskan bakso dalam mangkuk itu sendok demi sendok.

Pak Tua kemudian menuju kearahku dan dilepasnya sandal butut yang dipakainya ditempatkan diatas rumput dan kemudian dia duduk tepat di samping batu yang kududuki. Diambilnya sebatang rokok dari saku baju, dan diraba kedua saku celana dia terlihat bingung mencari sebuah benda yang sangat penting.

“Ini koreknya pak.” Sambil makan ku sodorkan korek kempunyaanku.

“Terima kasih mas.

Disulutnya rokok itu, merah membara, kretek… kretek… kretek…. bunyi rokoknya habis dimakan api yang terus bergerak mendekati kedua jari tangannya. Kesempatan yang baik bagiku untuk bertanya tentang keadaan Pak Tua ini, yang semakin menarik untuk aku ketahui. Keterangan yang sepotong-sepotong membuatku bingung dan kali ini aku ingin memperjelasnya, semoga saja dia mau bercerita tentang dirinya.

“Apakah di kota ini bapak tinggal bersama istri?”

“Tidak mas, dia dan anak saya tinggal di desa.”

“Lantas bapak di sini tinggal bersama siapa?”

“Saya disini ikut dengan seorang pengusaha bakso yang telah berhasil.”

“Kalau boleh tahu, bagaimana asal mula bapak sampai di kota ini dan menjadi penjual bakso dorong ini?”

“Ketika saya berniat bulat mengadu nasip ke kota saya tidak membayangkan akhirnya saya akan berjualan bakso seperti sekarang ini. Pertama kali saya pergi ke kota tidak langsung ke kota ini mas. Waktu itu saya diajak teman sedesa saya mencari kerja di Solo, maklumlah mas desa kami desa yang miskin, kebanyakan penduduknya bertani, namun hanya di musim penghujan saja. Untuk mendapatkan air saja sangat sulit, desa yang diatas bukit dan diantara hutan seperti namanya Wonogiri semakin membuat kami terpencil. Banyak anak muda di desa kami kemudian merantau ke kota-kota besar, sayapun mengikuti jejak mereka. Ketika di Solo itu saya diterima disebuah kantor sebagai tenaga honorer, dengan gaji yang kecil dan untuk makan saja pas-pasan tidak membuat saya menyerah. Saya bertekad menjadi seorang pegawai, didesa saya seorang yang merantau dan pulang membawa kesuksesan akan lebih disegani dan dihormati. Apalagi menjadi PNS, menjadi impian banyak orang di desa saya mas. Setelah saya bekerja di kantor itu lebih dari lima tahun secercah harapan muncul betapa saya ketika itu kemudian sangat terpukul dankecewa. Saya sadar sebagai orang kecil harus selalu mengalah, ketika ada lowongan PNS seharusnya saya yang diterima mas, eh ketika itu yang diterima ternyata saudara dekat kepala kepegawaiannya. Karena kekecewaan itulah saya putuskan untuk berhenti dan pindah ke kota lain. Ketika ditengah perjalanan saya bertemu dengan teman saya satu desa, jadilah dia mengajak saya pergi ke kota ini, kota yang mempunyai julukan kota pelajar. Dia ceritakan pengalaman hidupnya sebagai tukang bakso yang penghasilannya pada waktu itu sangat menarik perhatian saya, entah sebesar itukah penghasilan, pokoknya kemudian saya dikenalkan dengan majikannya, seorang pengusaha bakso yang memulai usahanya dari berjualan bakso keliling. Nah dari situlah saya berkeinginan meniru pengusaha itu. Sampai sekarang saya malah terus berjualan bakso keliling disini ini.”

“Ketika telah mengalami berjualan bakso ini apakah bapak pernah merasa jenuh dan mempunyai keinginan untuk mencari pekerjaan lain?”

“Pernah juga mas ketiha telah setahun saya berjualan bakso dengan penghasilan yang jauh dari cerita teman saya itu saya mencari pekerjaan kesana kemari sambil berjualan bakso di malam hari. Saya tidak dapat melepaskan diri begitu saja dari berjualan bakso ini. Mas bisa bayangkan bila setiap hari untuk hidup disini saya dapatkan dari jualan bakso dan tinggal disinipun saya ikut dengan seorang pengusaha bakso, dan jika saya tinggal begitu saja maka saya tidak dapat bertahan lama disini tanpa rumah dan tanpa penghasilan sama saja cari mati kan mas. Sambil terus mencari kerja saya terus berjualan bakso. Pekerjaan yang saya impikan tak kunjung datang dan berjualan bakso semakin menyedot perhatian saya hingga sekarang ini.”

Sambil mendengarkan cerita penjual bakso yang semakin menarik itu, aku hingga tak sadar bahwa mangkuk yang aku pegang telah kosong. Sekarang perutku terasa kenyang dan aku tak punya alasan lagi untuk menahannya berbincang lebih lama lagi, ku lihat dia selalu menenggok mangkukku. Dari percakapanku dengan Pak Tua aku dapat sebuah perjalanan hidup penjual bakso yang penuh perjuangan. Semangatnya yang tetap menyala menyingkirkan kegalauan hatinya, ia sadar bahwa segala usaha akan membuahkan hasil yang memuaskan, maka dengan itulah ia dapat terus bertahan diantara gelombang kehidupan yang menghempaskannya. Aku sangat tertarik atas ucapannya yang hingga kini masih aku ingat betul entah dari mana kosa kata itu dia peroleh yang jelas dia menikmatinya hingga sekarang “bukankah kebahagiaan itu tidak dapat diukur dengan materi atau uang’.

Suatu sore aku berniat mencari rumah Pak Jamin, seorang pengusaha bakso yang sering diceritakan Pak Tua padaku. Sambil menyelam minum air, sambil cari bahan membuat laporan tugas sebuah mata kuliah sekalian sambil mengorek kehidupan Pak Tua yang dari hari ke hari semakin menyedot perhatianku. Betapa tidak seorang penjual bakso yang rutin menyapaku kini dia menghilang entah kemana, sering dia tidak berjualan lagi dan ketika aku tanyakan perihal itu sering dia mengelak. Semakin dia menutup-nutupi keadaannya semakin besar pula keingintahuanku perihal dirinya.

Matahari yang bersinar redup membuatku nyaman bersepeda dan peluhpun tiada deras terkucur. Setelah keluar masuk gang dan bertanya kesana kemari karena keterangan yang diberikan Pak Tua tentang Pak Jamin ini sedikit membuat pencarian ini tidak begitu mudah, dan akhirnya kutemukan juga rumah Pak Jamin seorang pengusaha bakso yang menurut Pak Tua telah sukses sebagai pengusaha kecil. Rumahnya yang bertingkat, membuat sangat menonjol dibandingkan dengan rumah para tetangganya yang hanya satu lantai saja. Disamping rumah Pak Jamin aku lihat sebuah gerobak bakso yang aku kenal betul dengan gerobak ini, yah sebuah gerobak yang selalu didorong Pak Tua, gerobak yang memberinya banyak jasa, membawa barang dagangan sehingga Pak Tua dapat mengais rejeki. Kusandarkan sepedaku pada sebuah dinding di depan rumah Pak Jamin dan kuatur sepedaku jangan sampai mengganggu orang yang akan melewati gang yang berada di depan rumah pak Jamin ini. Rumah yang tidak tertata teratur dengan disana sini terdapat plastik pembungkus mie menghiasi halaman depan rumah pak Jamin ini. Nampak sepi dan terlihat lengang seperti tidak ada penghuni yang tinggal dirumah itu, namun untuk menghapus keraguanku aku ketuk pintu yang berwarna hijau itu tiga kali.

“Permisi, Permisi, Permisi”

“Sebentar.”

Suara seorang laki-laki menjawab dari dalam rumah. Pintu itupun kemudian terbuka dan seorang bapak yang seusia Pak Tua keluar dari balik pintu, dengan senyumnya ramah mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya.

“Silahkan masuk dik, mari, mari silahkan duduk!”

“Terima kasih” Sambil ku letakkan tasku yang ku gendong dan menggambil sebuah buku catatan keci dan bolpoint aku utarakan niatku menemui Pak Jamin ini.

“Maaf, kalau kedatangan saya kemari mengganggu kesibukan Bapak. Saya kemari ingin mendapatkan beberapa informasi tentang kiat bapak dalam mengelola usaha penjualan bakso ini.”

“Baik, tapi saya mohon jangan lebih dari jam setengah enam ya dik soalnya saya harus menemani istri dan anak saya yang berjualan bakso diwarung, maklumlah dik sehabis maghrib pembeli banyak berdatangan.”

“Yang pertama bagaimana pertama kali bapak merintis usaha ini?”

“Ketika pertama kali saya datang ke kota ini saya berjualan bakso keliling sama seperti para pegawai saya sekarang. Dulu saya hanya sewa gerobak bakso lambat tahun saya kumpulkan keuntungan yang saya dapatkan dan satu persatu gerobak dapat saya beli hingga sekarang saya mempunyai lima gerobak dan sayapun memutuskan untuk membuka juga warung bakso di tepi jalan raya yang kurang lebih berjarak dua kilometer dari rumah saya ini dik.”

“Saya mengetahui tentang bapak dari Pak Tua yang mendorong gerobak yang tadi saya lihat terparkir di samping rumah bapak.”

“Oh ya, itu gerobak Pak Ratim.”

Sudah lama aku mengenalnya dengan nama Pak Tua, namun sungguh bodoh aku ini nama asli darinya tidak pernah aku ketahui bahkan aku tak pernah sekalipun bertanya kepada dia siapa nama sebenarnya.

“Dimana dia sekarang, kenapa gerobaknya masih terparkir disana?”

“Sudah beberapa hari ini dia minta ijin pulang ke kampungnya. Sudah sekitar satu setengah bulan yang lalu dia sering sakit-sakitan, saya tidak tahu kenapa dia mudah sakit, tidak seperti biasanya. Semenjak istrinya meninggal dia sering menyendiri sering melamun di teras depan lantai atas. Kalau saya tanyakan ada apa dengannya dia berusaha menutupinya dan tidak mau bercerita. Begitulah dia dik, dulu sering dia bercanda gurau dengan para tetangga, sampai-sampai tetangga saya lebih mengenalnya daripada saya walaupun dia bukan penduduk sini. Bahkan sayapun sudah menganggapnya seperti saudara sendiri, pernah karena kasihan kepada dia yang setiap hari harus mendorong gerobak itu saya tawari untuk menjaga warung saya saja dan gerobaknya saya carikan pengganti ternyata dia malah menolaknya. Saya juga segan mengalihkan gerobak kesayangan Pak Ratim itu pada orang Plain walau akhir-akhir ini gerobak itu sering dirumah. Biarlah pak Ratim sendiri yang memutuskan kapan dia akan berhenti mendorong gerobak baksonya mengelilingi kampung-kampung.”

“Kalau bapak tahu bagaimana keluarganya di kampung?”

“Setelah ditinggal oleh istrinya sebulan yang lalu ia hidup sebatang kara tanpa memiliki saudara. Bayangkan dik anaknya yang berumur sekitar lima belas tahun harus meninggal karena kecelakaan setahun yang lalu dan sekarang istrinya menyusul, lengkap sudah penderitaannya.”

Aku melirik jam dinding yang berada di atas kepala Pak Jamin telah menunjukkan pukul lima lebih dua puluh menit waktuku semakin sempit saja.Sesuai dengan permintaan Pak Jamin, akupun kemudian meminta diri.

“Saya rasa keterangan-keterangan dan penjelasan bapak sudah saya anggap cukup, dan saya mengucapkan terima kasih pada bapak atas diluangkannya sedikit waktu yang bapak miliki untuk saya.”

“Sama-sama dik, kalau masih diperlukan lagi, saya bersedia membantu. Jangan sungkan-sungkan datang lagi ke sini.”

Sambil mengayuh pedal sepeda aku pulang kerumah banyak pikiran yang muncul di kepalaku. Pak Jamin yang datang dari desa mendorong gerobak bakso berakhir menjadi pengusaha bakso yang memiliki warung bakso. Sedang pak Ratim yang juga datang dari desa mendorong gerobak bakso hingga usia senja. Begitulah hidup kadang segala harapan dan keinginan harus dikubur karena kenyataan memaksa untuk melakukan sesuatu yang jauh dari keinginan. Pak Ratim mencoba mengadu nasib di kota dengan harapan dan keinginan menjadi pegawai ternyata dia harus melangkah mendorong gerobak bakso yang jauh dari bayangan. Namun hidup harus terus berjalan maka peluh dan do’a tetap mengalir dalam darahnya yang menjaganya tetap setia dalam mengisi setiap waktu dalam hidupnya.

Hari ini tepat sebulan setelah kedatanganku ke rumah pak Jamin. Hingga kini pak Ratim yang tua dan pendorong gerobak bakso itu belum juga lewat didepan rumah. Rindu juga aku pada baksonya, bakso yang dibumbui dengan perjalanan hidupnya yang panjang serasa lebih nikmat terasa bagiku dibandingkan dengan bakso-bakso yang lain.

Ting… ting… ting… ting…

Akhirnya suara itupun muncul kembali, merambat pelan seiring dengan langkah kaki, semakin mendekat. Dari balik jendela ruang tamu aku tengok terlihat di kejahuan gerobak bakso yang ku kenal betul. Yah Gerobak bakso Pak Tua, bergerak mendekati rumahku dan akhirnya aku melihat jelas sosok pendorong gerobak bakso itu. Gerobak tua yang didorong pemuda yang tegap dan gagah, dengan kaos dan celana jeans.

LAMARAN

Aku berjalan pada sebuah jalan besar, pada jalan ini yang jelas aku ketahui terdapat tiga kantor yang hari ini akan aku kunjungi. Satu diantaranya telah aku kunjungi kemarin dan dua lainnya aku ketahui dari iklan yang aku baca dikoran pagi ini. Keadaan ekonomi yang tidak menentu seperti sekarang ini membuatku pada posisi seperti ini. Selulusku dari kuliah empat tahun yang lalu setidaknya telah tiga perusahaan yang menjadi tempatku bergantung, walaupun sebagai free lance aku menikmatinya. Aku banyak mengenal karakter teman sekerjaku dan juga pengalaman bekerja pada perusahaan-perusahaan itu membuat hidupku penuh dengan warna. Namun kali ini aku jenuh juga harus terus mencari pekerjaan setiap waktu, rasanya kali ini aku ingin mendapatkan sebuah pekerjaan yang dapat memberiku masa depan, yah boleh dibilang pekerjaan yang lebih mapan.

Jalan yang kulewati ini ramai benar dan macet, jalan yang hanya dua arah sepertinya tidak mampu lagi menampung kendaraan yang berada diatasnya. Kantor dan toko yang berada dikanan dan dikiri jalan mungkin menjadi sebab jalan ini dipenuhi orang dengan berbagai keperluan. Benar juga keputusanku untuk naik bis, bayangkan saja kalau aku naik motor pasti akan sulit melalui jalan yang penuh sesak ini. Matahari belumlah bersinar terik, namun panasnya telah membuat keringatku mengalir. Sesekali aku berhenti mencari keberadaan kantor yang akan aku tuju. Hatiku menjadi bertanya-tanya seberapa panjang jalan ini, kenapa sudah jauh aku melangkah namun belum juga menemukan kantor itu.

“Permisi Pak, numpang tanya, kantor ini letaknya dimana ya Pak?” Sambil aku serahkan secarik kertas pada seorang tukang becak yang sedang duduk didalam becaknya. Ketika membaca tulisanku itu dahinya sedikit berkerut.

“Oh ini Dik, itu didepan sana, disamping toko Hijau.”Katanya.

Aku kemudian melihat kearah jari telunjuk tukang becak itu, “Yang mana ya Pak?” tanyaku ketika aku belum melihat tempat yang ditunjuk bapak itu.

“Itu toko Hijau yang mempunyai papan nama paling besar, dari sini saja sudah dapat terbaca. Nah kantor ini letaknya disampingnya.” Jelas bapak itu.

“Oh iya yang itu.” Jawabku setelah aku yakin benar melihatnya. “Terima kasih Pak.” Aku kemudian berlalu dari hadapannya.

Ketika telah dekat dengan kantor yang aku tuju, kuhentikan langkahku sebentar mencari tempat yang teduh, kuperiksa kembali berkas lamaran lembar demi lembar memastikan bahwa semuanya telah lengkap. Beberapa orang yang lalu lalang didepanku memperhatikan dengan berbagai ekspresi raut muka. Setelah aku rasa cukup, perjalanan kulanjutkan kembali. Sebuah halaman yang dipenuhi sepeda motor dan beberapa mobil terpakir didepan memperlihatkan bahwa sebuah bangunan yang tertutup kaca gelap itu adalah sebuah kantor. Pintu kaca hitam kudorong dan seorang wanita cantik berada dibalik pintu itu, ketika pintu terbuka ia melihat ke arahku.

“Selamat siang Mbak?” Sapaku menyusul.

“Siang, silahkan duduk Mas.” Perempuan itu menyambutku ramah. Nita Adelia demikian namanya yang terpasang pada papan kecil yang menempel didadanya.

“Ada keperluan apa Mas?” Tanyanya menyusul ketika aku sudah duduk di kursi di depan mejanya.

“Ini Mbak, mau memasukkan lamaran.” Sambil aku serahkan lamaran yang kubawa padanya. Setelah menerima lamaranku itu, ia bangkit dari tempat duduknya dan masuk kedalam kantor, hingga beberapa lama kemudian baru muncul kembali.

“Lamaran Mas kita terima, nanti kalau memenuhi syarat akan kita panggil.” Kata perempuan itu setelah duduk di kursinya kembali. Jawaban yang sudah sering aku terima. Aku putuskan untuk tidak berlama-lama disini dan perjalanan masih harus berlanjut.

* * *

Aku tidak dapat menghitung lagi berapa lama telah berada disini. Sejak menjadi karyawan hingga duduk pada posisiku sekarang ini telah memakan banyak energiku. Perasaan puas itu ada namun beberapa waktu yang lalu ketika aku pulang kerumah, jiwaku terusik oleh pertanyaan ibu yang sulit sekali aku menjawabnya, “Rini, kamu akan mengejar apalagi, sekolahmu sudah sampai perguruan tinggi bahkan gelar kesarjanaan sudah berada ditangan dan bahkan tempat kerjamu telah memberimu posisi seperti sekarang ini. Tapi ingat juga umurmu yang kian lama tidak bertambah namun justru berkurang, semakin lama semakin tua, apa kamu tidak memikirkan berumah tangga?”

Setumpuk pekerjaan yang berada diatas meja belum aku sentuh sedikitpun bahkan beberapa map surat lamaran yang harus aku seleksi siang ini belum aku lihat. Ah biar Erwin yang menyeleksi secara tertulis diakan sudah terbiasa dengan hal ini dan aku tinggal mewawancarai, lamaran ini akan aku buka sambil wawancara nanti siang saja. Jam dinding yang menempel diruanganku menarik perhatian dan sepertinya dia memperingatkan bahwa siang ini aku ada janji dengan teman-teman. Sekelompok pengacau demikian aku menyebutnya, sudah berapa lama aku berteman dengan mereka yang jelas aku ingat kami bertemu ketika masih berada dibangku kuliah, mereka semua adalah teman satu pondokan dan kini ketika waktu menggilas semua kenangan, mereka telah berada pada tempat yang aku sendiri belum pernah merasakan seperti yang mereka rasakan. Saat ke luar ruangan Erwin masih duduk dibelakang mejanya mengaduk-aduk setumpuk kertas.

“Pak Erwin nanti tolong calon pekerja baru diseleksi, soalnya seperti yang sudah-sudah saja. Saya mungkin kembali ke kantor agak terlambat jadi tidak perlu menanti saya, kalau ada apa-apa telpon saya.”

“Iya Bu.” Jawabnya dengan rasa hormat, dan menyanggupi melaksanakan perintahku.

Seperti biasanya Pak Man sopir perusahaan yang ditugasi mengantarku kemana saja aku pergi telah berada di depan kantor dan saat melihatku keluar dia menyapa dengan ramah.

“Ibu akan diantar kemana?” Tanya Pak Man.

“Pak Man, tolong saya diantar ke warung Pojok!”

Begitu mendengar perintahku, sopir perusahaan yang rambutnya sudah mulai memutih itu melarikan mobil yang aku naiki. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk cepat sampai ke warung itu. Warung pojok yang memberi bekas masa lalu yang hingga sampai sekarang masih aku pertahankan. Sekali dalam seminggu aku bertemu dengan sahabat-sahabat lamaku. Bagi mereka mungkin menyisihkan waktu sekali seminggu tidak masalah apalagi pada jam istirahat siang, namun kadang aku sendiri yang mengecewakan mereka semua dengan jarang bisa berada bersama mereka.

Mereka telah berada dalam warung itu ketika aku tiba disana, ini terlihat dari dalam mobilku. Mereka tidak melihat kedatanganku hingga aku duduk disamping mereka.

“Wah ibu manager kita, ternyata hari ini beliau bisa hadir disini dan masih ingat dengan kita.” Sindir Retno yang dulu memang suka menjahiliku.

“Gimana kerjaanmu Wik?” Tanya Ria menyusul.

“Yah seperti biasa masih banyak dan tetap menumpuk.” Jawabku.

“Yang jelas tidak seperti kita, tinggal nunggu perintah. Dia mikir apa yang akan diperintahkan, itu bedanya dengan kita.” Sahut Retno kemudian.

“Sudahlah bisa kita tinggalkan semua itu dan ganti pembicaraan.” Pintaku pada mereka.

“Ngomong-ngomong kita tadi membicarakan kamu lo Wik. Kenapa kami yang sudah beranak ini tidak cepat kamu susul, apa kamu tidak memikirkan soal jodohmu Wik?” Atik mengganti topik pembicaraan yang tetap saja memojokkanku.

“Tenang saja teman-teman, Wiwik sekarang ini sedang mencari cinta sejatinya.” Ria membelaku.

“Memang ada cinta sejati itu?” Tanyaku kemudian.

“Ya jelas ada to Wik. Kalau kamu merasakannya, getaran-getaran aneh itu akan membuatmu mabuk dan hatimu penuh dengan bunga-bunga.” Jawab Ria kemudian.

Menit demi menit berlalu begitu saja tanpa terasa. Canda tawa mengembalikan masa lalu saat kami masih sering bersama dengan kehangatan, untuk sementara waktu semua kepenatan hilang sejenak. Ketika tersadar sudah satu setengah jam kami duduk ditempat itu.

“Teman-teman sepertinya sudah waktunya kita kembali bekerja lagi. Wik, boleh tidak aku nebeng mobilmu, soalnya waktu kesini tadi aku ikut temanku.” Pinta Retno.

“Ya, boleh. Aku akan antar kamu sampai tempatmu.” Jawabku mengijinkan.

Sepertinya aku akan mempunyai teman bicara, jadi tidak jenuh menempuh perjalanan pulang ke kantor. Beberapa saat kemudian Retno dan aku telah berada dalam mobil dan meninggalkan kedua sahabat yang tadi bercanda penuh tawa.

“Eh, Ret, apakah masih ada cinta sejati buat wanita seusiaku?” Tanyaku pada Retno ketika mobil yang dikendarai Pak Man bergerak membelah jalan yang penuh sesak.

“Ternyata kamu tertarik juga, kenapa tadi kamu tidak menanyakan pada teman-teman, malu ya?” Goda Retno padaku yang kontan saja aku cubit dia.

“Ah kamu ini, orang ditanya malah meledek.” Kataku sambil sedikit memalingkan muka melihat keluar cendela.

“Begitu saja marah. Asal kamu tahu saja, cinta itu tidak mengenal usia dan bahkan status sosial.” Kata Retno mencoba menenangkanku.

“Ah aku tidak percaya dengan itu.” Sanggahku pada Retno.

“Hati-hati dengan perkataanmu itu, bisa menjadi bumerang bagi kamu.” Ancam Retno padaku.

* * *

Saat memasuki kantor, diruang tamu telah duduk enam orang yang wajahnya tidak aku kenal, aku rasa mereka adalah calon karyawan baru. Ketika melihatnya salah satu wajah menarik perhatianku.

“Pak Erwin sudah selesai?” Tanyaku padanya ketika kujumpai dia duduk dibelakang dimejanya.

“Tinggal wawancara Bu.” Jawabnya.

“Baik kamu siapkan, aku tunggu diruanganku.” Perintahku.

“Iya Bu.”

Sebelum memasuki ruanganku, Susi sekretarisku memberitahuku ada surat-surat yang harus aku tanda tangani.

“Sus, sekalian kamu siapkan rapat staf besok pagi.” Perintahku padanya.

Saat sedang mengerjakan pekerjaan yang ada diatas meja, Erwin masuk memberitahukan bahwa wawancara sudah siap dilakukan, katanya tiga orang yang memenuhi syarat untuk ikut wawancara. Maka aku suruh dia menyiapkannya. Satu per satu calon pegawai itu masuk dan akhirnya sampai pada pelamar terakhir, Bagas Prakoso namanya. Wajahnya sangat menarik perhatianku, apalagi tatapan matanya begitu menghunjam hingga membuat aku sendiri mempunyai perasaan aneh yang sudah lama hilang dari hatiku. Sialan kamu Retno, umpatku dalam hati. Sepertinya pegawai baru itu telah aku temukan.

PROSES PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN SISTEM KELAS BERGERAK

01092009(002)

Setiap manusia mempunyai hak asasi untuk memperoleh pendidikan. Sebagaimana pengertian pendidikan itu sendiri yang merupakan sebuah proses menuju pendewasaan. Sehingga tentu saja pendidikan itu harus dicari mulai saat manusia itu lahir hingga dia menghembuskan nafas terakhirnya. Kesadaran inilah yang hendak ditularkan pada peserta didik bahwa pendidikan itu wajib dicari, sehingga dengan demikian pribadi yang diharapkan adalah manusia-manusia yang haus akan pengetahuan. Pendidikan adalah candu.

Pendidikan yang ada di negeri ini mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah yang telah memasukkan anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Harapan masyarakat banyak tentu ingin menjadikan dunia pendidikan menjadi kawah candradimuka bagi tunas-tunas bangsa ini agar menjadi manusia yang berkualitas serta mampu melanjutkan tongkat estafet perjuangan pendahulunya seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Keadaan yang demikian harus menjadi perhatian bagi seluruh pelaku pendidikan yang ada di Indonesia untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan.

Pada sisi pendidik peningkatan kualitas didorong dengan sertifikasi yang diharapkan mampu mendongkrak kompetensi tenaga pendidik sesuai dengan bidangnya sehingga mampu menanggapi perkembangan jaman dikaitkan dengan mata pelajaran yang diampunya. Penghargaan bagi pahlawan tanpa tanda jasa ini sekarang telah dihargai jasanya dengan adanya tunjangan profesi. Sewajarnyalah manakala masyarakat menaruh harapan yang besar pada kaum pendidik ini untuk menciptakan manusia-manusia Indonesia yang berkualitas, cerdas dan tentu saja bermoral.

Fasilitas sebagai salah satu unsur yang dibutuhkan untuk berjalannya proses, sedikit demi sedikit mulai dibenahi. Masyarakat sebagai user harus menjadi agen pengawas sehingga kebocoran dana yang diperuntukkan untuk meningkatkan kualitas sarana prasarana pendidikan tidak bocor. Demikian halnya pendidik yang mengelola pendidikan seharusnya mempunyai moral untuk memajukan pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Harmonis jikalau pengelola pendidikan mempunyai rasa tanggung jawab dan masyarakat mengiringinya dengan sebuah kontrol, dengan ini semua hak manusia Indonesia untuk mendapatkan pendidikan dapat terwujud.

Sebagian besar pembelajaran yang ada di Indonesia ini masih menggunakan cara yang konvensional yang telah bertahun-tahun dilakukan. Pembelajaran yang diharapkan mampu menghadapi tantangan global adalah sistem pembelajaran dengan kelas bergerak. Pola pembelajaran seperti ini belum banyak yang menerapkan. Hal baru yang diharapkan mampu menjadi penyegaran dalam kegiatan pembelajaran.

Berbeda dengan pembelajaran konvensional, sistem kelas bergerak mendorong terciptanya laboratorium mapel pada sekolah sehingga peserta didik lebih dalam mengexplor pengetahuan yang sedang dipelajarinya lebih dalam. Pada sisi lain pendidik didorong mempunyai kreatifitas untuk menyajikan proses pembelajaran lebih PAKEM. Hal ini dibutuhkan untuk mengkolaborasi sofware yang berupa materi ajar dan hardware yaitu semua fasilitas yang mendukung proses pembelajaran serta mampu meramu kedua hal itu menjadi sebuah kolaborasi pembelajaran yang menyenangkan.

Pergerakan rombel antar ruang mapel pada satu sisi mampu menyegarkan peserta didik serta pergantian suasana pada setiap ruangan mapel mampu mendorong penyegaran kembali anak sehingga dapat menekan kejenuhan yang terjadi. Dampak buruk yang ditimbulkan dari sisi adalah adanya peserta didik yang mungkin dapat menguap saat perpindahan antar ruang ini.

Guru yang mempunyai ruangan sendidri mempunyai otoritas untuk melakukan pengelolaan terhadap sarana dan prasarana pembelajaran serta menentukan model pembelajaran yang dilakukan sehingga ketuntasan anak mampu diraih. Lebih menarik lagi ketika model ini dikombinasikan dengan pola pengajaran team teaching (colaborrative learning). Pengelolaan kelas yang dilakukan oleh lebih dari satu guru tentu akan mengahasilkan hasil yang maksimal pada peserta didik pada penyerapan materi, bukankah dengan cara gotong royong seperti ini pekerjaan menjadi ringan. Pada peserta didik diuntungkan dengan sistem ini karena mereka mendapat sumber belajar yang lebih sehingga mereka mampu memperdalam pemahamannya tentang suatu hal.

INDONESIAKU

Pada saat bangsa ini memperingati hari jadinya yang ke-64 tahun,
ada sebuah ambigu rasa nasional yang membuat rasa nasional bangsa
ini diuji. Lambang-lambang negara yang menjadi kebanggaan bangsa ini
oleh bangsa lain dilecehkan, walaupun secara institusi bukan merupakan
sebuah negara namun hanyalah oknum saja, namun tidaklah dapat
ditampikkan bahwa pelecehan ini dapat merupakan sebuah penghinaan.
Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana bangsa ini dapat menumbuhkan
rasa nasional yang dimiliki para pahlawan untuk dapat dimiliki kaum
penerusnya dengan perjuangan dan pengabdian yang sangat berbeda
bentuknya dalam aplikasinya. Kalau bangsa ini sangat tega menjajah
bangsanya sendiri maka tak akan hayal bila bangsa inipun diinjak-
injak oleh bangsa lain.

Indonesial National Anthem
Indonesial tanah Cairku
Tanah tumpah muntahku
Disanalah aku merangkak hina
Jadi kubur

Indonesial negara miskin ku
Bangsa Busuk dan Tanah Miskinku
Marilah kita semua tidur
Indonesial negara miskinku

Mati lah tanahku
Modar lah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Miskin lah jiwanya
Tidurlah badannya
Untuk Indonesial Miskin

Indonesial Miskin
Mampous Modar
Datang kerja Malaysia
Tapi TKI Jadi perampok Rompak Malaysia bawa wang ke Indon

Indonesial Pendatang Haram
Miskin lah Miskin lah
Datang Haram ke Malaysia
Tiada paspor
Bila kena tangkap dan hantar balik
Kata nya malaysia jahat

Indonesial Negara Perampok
Indonesial Menghantar perampok maling
pekerja TKI Indonesial
hantaq pi Malaysia

Indonesial Maling
Merampok lagu Malaysia
Mengatakan itu lagu mereka

Indonesial Tanah yang hina
Tanah gersang yang miskin
Di sanalah aku miskin Untuk slama-lamanya
Indonesial Tanah puaka
Puaka Hantu Kita semuanya
Negara luas hasil bumi banyak tapi miskin
Datang minta sedekah di Malaysia
Marilah kita mendoa Indonesial brengset

Gersang lah Tanahnya mundurlah jiwanya
Bangsanya Rakyatnya semuanya
Tidurlah hatinya Mimpilah budinya
Untuk Indonesial Miskin

Indonesial Tanah yang kotor Tanah kita yang Malang
Disanalah aku tidur selamanya bermimpi sampai mati
Indonesial! Tanah Malang Tanah yang aku sendiri benci
Marilah kita berjanji Indonesial miskin

Mati lah Rakyatnya Modar lah putranya
Negara Miskin Tentera Coma pakai Basikal
Miskinlah Negrinya Mundur lah Negara nya
Untuk Indonesial kurap

Siratan makna teks lagu kebangsaan inipun kalau dirasakan
oleh bangsa yang beradap tentu akan sangat menyakitkan.
Pernah Presiden Sukarno dahulu berujar : “Perjuanganku lebih
mudah karena hanya mengusir penjajah, namun perjuanganmu
akan sangat sulit karena melawan bangsamu sendiri.
Para pendiri bangsa ini mempunyai tujuan bahwa kelak dikemudian
hari bangsa ini akan mencapai kemakmuran dimana rakyatnya sejahtera.
Sumber daya yang dimiliki seharusnya dapat dikelola sedemikian
rupa menjadi sebuah modal bagi perjuangan pembangunan menuju
masyarakat madani, namun oleh beberapa gelintir orang diplintir
sehingga kekayaan sumber daya ini hanya dinikmati oleh beberapa
kelompok orang saja. Mungkin menjadi pertanyaan bagi kita semua
bagaimana kita menghargai bangsanya sendiri apabila kita tidak
mempunyai rasa kepedulian. Boleh jadi pelecehan terhadap simbol
simbol kebangsaan ini dapat membangkitkan rasa nasionalisme dan
dapat juga dianggap sebagai angin lalu yang akan hilang begitu
saja ditelan waktu.
Semangat kebangsaan seharusnya kembali tumbuh di dada kita semua
bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar dan memiliki berbagai
daya dukung yang akan membuat bangsa ini dapat terangkat terbang
tinggi sejajar dengan bangsa-bangsa maju didunia ini, sehingga
ada keengganan untuk melecehkan bangsa ini karena kita punya
kekuatan.

MENDIDIK ANAK DI ERA DIGITAL

Anak merupakan harta yang tidak ternilai. Ia merupakan titipan dari Tuhan yang dianugerahkan kepada kita untuk dijaga dihantarkan ke samudra luas kehidupan. Anak merupakan generasi penerus penerima tongkat estafet perjuangan. Anak merupakan manusia yang perlu pendidikan serta bimbingan ke arah dewasa, dewasa bukan saja dari jasmani namun rohani. Pendidikan yang merupakan proses perubahan harus dapat mengisi kedua bagian ini.
Anak dalam proses menjalani pendidikan perlu dipertimbangkan fase perkembangannya. Ranah afektif, kognitif serta psikomotoriknya harus diisi sesuai dengan kebutuhan anak. Hal ini akan sangat menentukan metode apa yang akan digunakan dalam melakukan proses pembelajaran. Maka pengetahuan tentang psikologi perkembangan akan membantu dalam menentukan hal itu.
Kemajuan teknologi dalam informasi dewasa ini luar biasa perkembangannya. Masyarakat modern sangat dipengaruhi oleh informasi dalam mengambil keputusan. Media sebagai sarana informasi telah mengalami evolusi yang begitu dahsyat. Dunia semakin menglobal, dimana persaingan akan dimenangkan oleh siapa yang punya informasi dan berapa banyak media yang dia kuasai.
Masyarakat sebagai komunitas yang mempunyai nilai dan norma serta tradisi mempunyai kearifan lokal yang sangat dipengaruhi geografisnya. Ketika tata nilai dibenturkan dengan apa yang dinamai dengan media informasi yang global maka akan timbul goncangan. Dampak dari benturan ini akan berakibat pada terjadinya perubahan tata nilai yang drastis sehingga memunculkan krisis dan degradasi nilai. Dampak yang kedua adalah terciptanya akulturasi yang harmonis antara tata nilai lokal dengan budaya asing ataukah ada keapatisan dari masyarakat sehinga menutup terhadap budaya baru dan tetap memegang nilai-nilai lokal.
Anak sebagai bagian dari masyarakat akan berkembang sesuai dengan tata nilai yang dia kenal. Ketika media yang sangat gencar menerpa bila tiada difilter maka akan deras menerpa pada anak. Anak bagai selembar kertas putih, maka kemudian akan sangat dipengaruhi oleh coretan yang diletakkan pada kertas putih tersebut. Jangan disalahkan ketika anak menirukan sebuah iklan yang ditayangkan di media elektronik dimana belum tentu iklan tersebut mendidik. Pengaruh negatif juga dapat datang dari dunia maya yang mengandung jutaan informasi yang belum tentu semuanya baik dan punya nilai. Pengaruh negatif yang dapat muncul akibat kemajuan teknologi informasi ini adalah perilaku free sex dikalangan remaja, tawuran antar pelajar, penggunaan narkoba serta pola hidup konsumtif yang memicu pada perbuatan tercela seperti mencuri.
Proses pendewasaan anak yang akan mendorong pada anak untuk dapat mempertanggungjawabkan dirinya dengan tata nilai di masyarakat sangat dipengaruhi oleh pemilihan media serta bimbingan yang penuh kasih sayang dari orang tua. Tauladan akan sangat terkesan daripada tuturan yang sifatnya pesan pepesan saja. Bijak dalam membimbing anak akan terjadi ketika kita dewasa dalam menyikapi perkembangan jaman.